Headlines

KNPB-PRD-FAK-FAK

PELANGGARAN HAM

AKSI-DEMO



(Timika, 17 Januari 2019) Siang ini PAHAM Papua, LBH Papua, dan KPKC Sinode GKI yang tergabung dalam “Koalisi Penegakan Hukum dan HAM untuk Papua” mendaftarkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Kota Timika, Papua.

Gugatan ini dilayangkan kepada Kapolres Mimika perihal penangkapan, penetapan tersangka, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan tidak sah terhadap Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika yang terjadi sejak 31 Desember 2018.

Kapolres Mimika selaku Termohon kami tuntut untuk segera melepaskan tiga orang yang dijadikan tersangka makar secara tidak sah, membayar ganti rugi materiil sebesar 126.538.000 rupiah, segera mengosongkan sekretariat KNPB Timika yang telah disita secara tidak sah, juga supaya meminta maaf secara terbuka kepada KNPB lewat media massa di Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua selama tiga hari berturut-turut.

Tujuan dari gugatan praperadilan ini adalah untuk memulihkan kedudukan, harkat, dan martabat Para Pemohon (KNPB-PRD) yang telah dilanggar secara inkonstitusional oleh Polres Mimika dan jajarannya.

Untuk itu, kami keluarga besar KNPB, Perlemen Wilayah Timika, mengucapkan banyak terima kasih kepada Gustaf Rudolf Kawer, SH, M.Si; Veronika Koman, SH, L.LM; Emauel Gobai, SH, MH; Apilus Menufandu, SH, Hulda A. Buara, SH; dan Andreas Rosumbre, SH; Para Advokat/Pengacara dan Asisten Advokat/Pengacara Yohanis Mambrasar, SH; Benny Wetipo, SH; dan Hermon Sinurat, SH; dari Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua dan Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode GKI di Tanah Papua di Jayapura-Papua atas Permohonan Peradilan atas nama para Pemohon Sem Asso, Yanto Awerkion dan Edo Dogopia terhadap tindakan penetapatn, penangkapan, penahanan, penyitaan yang tidak sah dan Gugatan ini dilayangkan kepada Kapolres Mimika perihal penangkapan, penetapan tersangka, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan tidak sah terhadap Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika yang terjadi sejak 31 Desember 2018.

Sebagai termohon oleh Koalisi Penegakan Hukum dan HAM untuk Papua di Pengadilan Negeri Kota Timika, hari ini Kamis, 17 Januari 2019.

Dalam surat gugutan itu Kapolres Mimika selaku Termohon di tuntut untuk segera melepaskan tiga orang yang dijadikan tersangka makar secara tidak sah, membayar ganti rugi materiil sebesar 126.538.000 rupiah, segera mengosongkan sekretariat KNPB Timika yang telah disita secara tidak sah, juga supaya meminta maaf secara terbuka kepada KNPB lewat media massa di Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua selama tiga hari berturut-turut.


Sumber : PAHAM PAPUA


WEST PAPUA:

"Tirani TNI/Polri sedang ditaklukkan oleh pasukan damai dan pejuang moral Komite Nasional Papua Barat Barat (KNPB). TNI/Polri berpikir mereka berhasil membubarkan, membungkam suara KNPB & membongkar, menghancurkan kantor dan rumah KNPB.

 Tetapi, sesungguhnya TNI/Polri telah kalah dan KNPB telah menang secara moral, politis dan taktik perlawanan. TNI/Polri terus terjebak dalam siasat perjuangan cerdas dan kreatif dari KNPB.

TNI/Polri bersama KNPB telah, sedang dan terus mendekatkan perjuangan West Papua Merdeka dalam hati, pikiran dan mata komunitas global. TNI/Polri dan KNPB sama-sama pejuang West Papua Merdeka."

 (Gembala Dr. Socratez S.Yoman).

 Ita Wakhu Purom, 13 Januari 2019.

Sumber : Gembala Dr. Socratez S.Yoman



Ketika menyusun pembelaan dalam kasus pelanggaran terhadap UU Informasi dan Transaksi Electronik yang menimpa Saudara, Agus Yolemal di Timika, saya mendahuluinya dengan membuat perbandingan antara kasus tersebut dan beberapa kasus penghinaan terhadap OAP.

Maka gambaran diskriminasi itu terlihat jelas di Negeri ini. Agus Yolemal dikenakan Pasal Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena dianggap dengan sengaja mengajar anaknya menggunakan kata-kata yang menghina negara dan menyebarkan informasi yang dapat membuat orang terhasut, dengan tuntutan Pidana Penjara oleh Jaksa Penuntut Umum selama 1 (satu) Tahun 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah).

Dalam proses hukum ini Polisi di Timika sangat aktif, mulai dari Pelapornya adalah polisi, saksi di BAP juga polisi hingga di Pengadilan Polisi masih setia menjadi saksi untuk menjerat Agus Yolemal.

Apa yang di alami Saudara.Agus Yolemal mencerminkan posisi OAP jika berhadapan dengan masalah hukum seperti ini, sangat berbanding terbalik jika kasus-kasus penghinaan itu dialami oleh Orang Asli Papua (OAP) di "Dunia Maya" dan media electronik yang sebenarnya."

SKALA PENGHINAANNYA LEBIH MENYEBAR DAN LEBIH BERDAMPAK TERHADAP HARGA DIRI OAP DI NEGERI INI."

Kita dapat melihat contoh beberapa kasus penghinaan terhadap OAP di Negeri ini lewat media sosial dan media electronik, misalnya yang dilakukan oleh beberapa artis di Ibu Kota.

Artis Cita Citata, yang mengatakan, “Cantik masih tetap, harus dicantikin mukanya, nggak kayak orang Papua kan ?.” (Cita Citata, Februari 2015), hal yang sama dilakukan Pengacara/Artis Farhat Abas, dengan mengatakan.

“Sewaktu Indonesia merdeka memang Papua tidak ikut, belakangan baru direbut Indonesia dari Belanda, jadi wajar kalau Papua minta pisah dari Indonesia, tapi jangan sampai itu terjadi Indonesia akan rugi besar karena Papua tanah luas penduduknya.

Sedikit, sebaiknya pemerintah memindahkan separuh penduduk pulau Jawa yang padat itu ke Papua, buat orang asli Papua tidak berdaya, ajak dia kawin campur supaya ciri khas wajah Papuanya pelan-pelan hilang...” (Farhat Abas, Mei 2016),

Begitu juga penghinaan yang terbaru yang dilakukan salah satu Tokoh Agama terkenal di Negara ini, yakni Ustadz Fadlan Garamatan yang videonya viral di dunia maya dengan mengatakan, “orang Papua tidak pernah mandi sepanjang bulan,

Orang Papua diajarkan mandi dengan gemuk babi, orang Papua suka mabuk-mabukan, Ibu-Ibu Papua biasa menyusui anak dan anak Babi secara bersamaan.”

(Ustadz Fadlan Garamatan, Maret 2018), dan masih ada bentuk-bentuk penghinaan terhadap orang asli Papua lagi yang lebih tidak manusiawi lagi dibanding dengan apa yang dilakukan oleh Terdakwa Agus Yolemal,

Namun tindakan-tindakan penghinaan ini tidak ada satupun yang diproses hukum hingga pelakunya di vonis sesuai dengan perbuatannya. Aparat penegak hukum sangat pasif dan membiarkan kasus tersebut pelan-pelan lenyap.

Barangkali hanya sedikit kata-kata penghiburan untuk Saudara. Agus Yolemal dan OAP yang mengalami masalah ini supaya tetap kuat,

"SABAR KITA MASIH ADA DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA, SAMPAI KAPAN SABARNYA?

YA...SAMPAI KITA BENAR-BENAR BEBAS DARI NEGARA YANG MASIH MEMELIHARA DAN MELINDUNGI PERILAKU DISKRIMINASI RASIAL INI"

Sumber : https://web.facebook.com/gustaf.kawer.7/posts/2208211555911304





Markas besar dimusnahkan dan tiga orang dituduh melakukan pengkhianatan karena mengadakan pertemuan doa yang menandai ulang tahun kelima kelompok itu. Pasukan Indonesia telah menggerebek dan diduga menghancurkan kantor kelompok pembebasan Papua Barat, mengambil alih satu situs di mana pengacara untuk klaim kelompok itu adalah "pendudukan legal".

Penggerebekan, yang telah memicu ancaman tindakan hukum, serta beberapa penangkapan dan tiga tuduhan pengkhianatan, terjadi di tengah meningkatnya tindakan keras terhadap gerakan separatis dan kekerasan yang berlanjut dalam pemberontakan selama puluhan tahun terhadap Indonesia.

Tiga markas besar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) - lengan domestik kampanye pembebasan - digerebek oleh polisi dan militer Indonesia (TNI) dalam beberapa minggu terakhir, dengan dua kantor hancur dan kantor Timika diambil alih untuk digunakan sebagai militer gabungan - pos polisi pada Malam Tahun Baru.

Sebuah surat yang dikirim ke polisi Mimika oleh pengacara KNPB menuntut pihak berwenang menarik diri dari "pendudukan ilegal" yang berlangsung Selasa atau menghadapi tindakan hukum.

"Kami melihat babak baru penganiayaan terhadap KNPB dengan menangkap mereka secara tidak sah dan sekarang secara sewenang-wenang menghancurkan properti mereka," kata pengacara KNPB Veronica Koman.

Surat itu menuduh petugas melakukan pelanggaran dan pemaksaan dalam penangkapan dan menahan delapan aktivis yang diduga menandatangani surat bahwa mereka "orang Indonesia selamanya" dan berjanji tidak akan ambil bagian dalam kampanye lebih lanjut.
Di antara mereka yang ditangkap adalah Yanto Awerkion, yang dibebaskan pada April tahun lalu setelah menghabiskan 10 bulan penjara karena keterlibatannya dalam petisi kemerdekaan.

Surat hukum KNPB mengatakan organisasi itu telah memberi pemberitahuan kepada pihak berwenang pada 29 Desember, sebagai tindakan dengan itikad baik, bahwa organisasi itu bermaksud mengadakan acara doa yang menandai ulang tahun kelima mereka.

“Pada tanggal 31 Desember 2018, acara doa dan pesta memasak tradisional 'bakar batu' yang rencananya akan diadakan pada jam 9 pagi dibatalkan secara paksa dengan kedatangan lebih dari seratus personel polisi dan militer,” tulis surat itu.

"Mereka gagal menunjukkan surat tugas, surat perintah penangkapan, dan surat perintah [dan] ... polisi melakukan penghancuran termasuk vandalisme."
Kepala polisi Mimika Agung Marlianto mengkonfirmasi kepada Jakarta Post bahwa sekitar 80 personel keamanan mengambil alih markas KNPB di Timika pada Malam Tahun Baru, menghilangkan semua lencana dan poster, dan menghancurkan dinding.

"Markas besar tidak diizinkan beroperasi lagi dan diambil alih sebagai pos TNI dan polisi mulai sekarang," katanya.
Delapan anggota KNPB juga diinterogasi pada hari Sabtu sebagai bagian dari investigasi makar, menurut dugaan pengacara. Pada hari Selasa sore mereka mengatakan tiga orang telah diterbangkan ke Jayapura dan didakwa melakukan pelanggaran makar atas acara doa.Pengacara KNPB Veronica Koman mengatakan, kebebasan berkumpul para peserta kampanye dijamin oleh konstitusi, dan klaim bahwa organisasi itu ilegal adalah salah dalam hukum.

"Bahkan jika KNPB ilegal, polisi masih tidak memiliki hak atau wewenang untuk menghancurkan atau merusak properti mereka, apalagi melanggar dan secara ilegal menduduki tanah dan bangunan yang dimiliki oleh KNPB."

Juru bicara kepolisian daerah Papua, Suryadi Diaz, mengatakan kepada media Indonesia bahwa bangunan itu milik pemerintah daerah, yang telah memberikannya kepada masyarakat setempat, tetapi KNPB telah menggunakannya.

“Itulah sebabnya polisi Mimika melihatnya layak untuk merebut kembali gedung dan membuatnya menjadi pos bersama untuk polisi dan TNI,” katanya.
Pengambilalihan kantor Timika mengikuti dugaan penghancuran kantor pusat di Asmat dan Jayapura pada bulan Desember.

Dalam sebuah video yang dimaksudkan untuk menunjukkan situs Asmat, seorang pria memfilmkan puing-puing bangunan. "Hari ini, kantor Papua Merdeka dibakar oleh polisi dan militer," katanya, menurut terjemahan yang diperoleh oleh Guardian Australia.

“Kami penuh air mata, kami penuh kesengsaraan, tetapi kami akan melanjutkan perjuangan. Dimanapun Anda berada, tolong dukung kami dan solidaritas dengan kami, karena kami akan melanjutkan perjuangan untuk sekarang dan selamanya. "

Pihak berwenang Indonesia melancarkan penumpasan terhadap separatis Papua Barat bulan lalu setelah pembunuhan setidaknya 17 pekerja konstruksi di provinsi Ndagu, Papua Barat oleh tentara pembebasan, yang mengklaim para pekerja itu semua adalah anggota militer Indonesia.

Serangan itu terjadi hanya beberapa hari setelah Indonesia menangkap lebih dari 500 orang, yang dilaporkan termasuk orang Indonesia, pada demonstrasi kemerdekaan Papua Barat di seluruh negeri.

Indonesia kemudian dituduh menggunakan fosfor putih pada warga sipil - bertentangan dengan hukum internasional - dalam sebuah laporan oleh Saturday Paper, sebuah laporan yang menurut Indonesia adalah "Benar-benar tidak berdasar, tidak faktual, dan menyesatkan".

Menyusul serangan terhadap pekerja bangunan, pemimpin gerakan kemerdekaan Papua Barat yang diasingkan, Benny Wenda menyerukan agar semua pihak tenang. Dalam sebuah wawancara dengan Guardian, Wenda mengatakan Indonesia memiliki sejarah "menciptakan kekerasan" dan menggunakannya untuk membenarkan peningkatan kehadiran militernya dan tindakan keras terhadap orang Papua Barat.

Sumber : https://www.theguardian.com/world/2019/jan/08/new-chapter-of-persecution-indonesia-cracks-down-on-west-papua-separatists